Faktor Risiko Mythomania
Adapun faktor yang meningkatkan risiko kebohongan patologis, yakni:
Gangguan buatan atau sindrom Munchausen merupakan kondisi ketika seseorang bertindak seolah-olah mereka mengalami sakit secara fisik atau mental, padahal sebenarnya tidak.
Sindrom Munchausen paling sering dilakukan oleh ibu yang berpura-pura sakit pada anaknya.
Juga, berbohong kepada dokter tentang gejala penyakit yang sebenarnya tidak dialami.
Penyebabnya sendiri, yakni:
Faktor Risiko Stockholm Syndrome
Beberapa faktor yang dapat menempatkan kondisi seseorang mengalami Stockholm Syndrome adalah:
Gejala mirip PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)
Korban juga sering mengalami gejala yang serupa dengan PTSD, seperti kilas balik peristiwa traumatis, rasa tidak percaya terhadap orang lain dan perasaan tertekan.
Korban juga menjadi mudah tersinggung, kecemasan berlebihan, kesulitan menikmati aktivitas yang dulu disukai, serta kesulitan berkonsentrasi.
Gejala-gejala ini sering kali berlangsung lama bahkan setelah situasi traumatis berakhir.
Diagnosis Stockholm Syndrome
Meskipun American Psychiatric Association (APA) tidak secara resmi mengakui stockholm syndrome sebagai gangguan mental yang spesifik, perilaku dan respons sindrom ini mirip sekali dengan trauma psikologis yang ekstrem.
Tidak ada kriteria diagnostik khusus untuk kondisi ini. Sebab, penelitian tentang stockholm syndrome masih terbatas.
Namun, para profesional kesehatan mental mengenali bahwa perilaku yang muncul dalam situasi traumatis, seperti yang ada dalam stockholm syndrome, mirip dengan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD) atau gangguan stres akut.
Oleh karena itu, diagnosis untuk stockholm syndrome sering mengacu pada evaluasi gejala PTSD dan reaksi trauma lainnya.
Pengobatan Stockholm Syndrome
Karena stockholm syndrome belum diakui secara resmi sebagai gangguan psikologis, belum ada standar pengobatan yang spesifik untuk kondisi ini.
Namun, pengobatannya mirip sekali dengan mengatasi PTSD, seperti berikut:
Konseling dan terapi
Pendekatan utama dalam mengobati stockholm syndrome adalah melalui konseling psikologis dengan psikiater atau psikolog.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga dilakukan untuk membantu korban memahami dan mengatasi perasaannya terhadap pelaku. Terapi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang berkembang selama situasi traumatis.
Dalam beberapa kasus, korban mungkin juga diberikan obat-obatan tertentu untuk mengatasi gejala kecemasan, depresi, atau stres pasca-trauma.
Obat antidepresan dan obat anti-kecemasan dapat digunakan untuk membantu korban mengelola efek psikologis dari trauma.
Selain terapi formal, korban mungkin memerlukan dukungan dari kelompok sebaya atau keluarga. Dukungan sosial sangat penting untuk membantu korban memulihkan diri dari trauma dan kembali menjalani kehidupan yang normal.
Pencegahan Stockholm Syndrome
Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.
Karena sindrom ini merupakan respons psikologis yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.
Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.
Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.
Gejala Stockholm Syndrome
Gejala yang biasanya ditunjukkan oleh penderita Stockholm syndrome antara lain:
Namun, ada sisi di mana penderita Stockholm syndrome menyadari bahwa ia merasakan sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan. Hal ini dapat berefek pada psikis korban dan menyebabkan:
Jika Anda merasa atau melihat seseorang mengalami gejala Stockholm syndrome, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog.
Jika belum berani untuk ke dokter secara langsung, Anda bisa menggunakan layanan chat dengan dokter atau psikolog untuk melakukan konsultasi awal mengenai keadaan Anda atau korban.
Faktor yang Mendasari Timbulnya Stockholm Syndrome
Dalam suatu penyanderaan, para sandera umumnya akan merasa benci dan takut karena pelaku atau penculik kerap berlaku kasar, bahkan kejam. Namun, dalam kasus Stockholm syndrome, hal yang terjadi justru sebaliknya. Para korban justru merasa simpati terhadap pelaku.
Ada beberapa faktor yang mendasari munculnya Stockholm syndrome, di antaranya:
Para psikolog menduga jika Stockholm syndrome merupakan cara korban untuk mengatasi stres atau trauma yang berlebihan akibat penyanderaan.
Meski begitu, penelitian menyebutkan bahwa Stockholm syndrome tidak hanya berlaku pada situasi penyanderaan, tetapi juga bisa terjadi pada situasi tertentu, seperti pelecehan anak, pelecehan antar pelatih dan atlet, hubungan abusive, dan perdagangan seks.
Pembinaan Olahraga
Terlibat dalam olahraga adalah salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun lewat pembinaan olahraga pada akhirnya berakhir negatif.
Teknik pelatihan yang keras bisa menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa perilaku pelatih mereka adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Ini pada akhirnya dapat menjadi bentuk sindrom Stockholm.